MENYEIMBANGKAN DORONGAN HAWA NAFSU DAN POTENSI AKAL

MENYEIMBANGKAN DORONGAN HAWA NAFSU DAN POTENSI AKAL


Apabila kekuasaan berada di tangan akal, maka hawa nafsu akan tunduk kepadanya menjadi pelayan dan pengikutnya. Sebaliknya, jika kekuasaan berada di tangan hawa nafsu, maka akal akan menjadi tawanan yang tunduk di bawah kekuasaannya. Sepanjang hidupnya seorang hamba tidak akan dapat membebaskan diri dari hawa nafsunya, karena hawa nafsu merupakan bagian dari dirinya. Karenanya, melepaskan diri darinya secara total merupakan hal yang mustahil. Akan tetapi, sikap yang diperintahkan bagi yang bersangkutan guna menghadapi hawa nafsunya ialah menghindarkannya dari hal-hal yang dapat menjerumuskannya ke dalam lembah kebinasaan, kemudian mengarahkannya pada hal-hal yang aman dan membawa keselamatan.
Sebagai contohnya, bahwa sesungguhnya Allah SWT tidak memerintahkan kepada seorang hamba untuk memalingkan kalbunya dari menyukai wanita secara total, tetapi Dia memerintahkan kepadanya agar menyalurkan hawa nafsunya dengan menikahi wanita yang disukainya mulai dari satu hingga empat, atau mengawini budak perempuan menurut yang disukainya. Dengan demikian, hawa ini hanya disalurkan dari satu tujuan ke tujuan yang lain, tak ubahnya bagaikan angin yang bertiup ganas pada awal mulanya, kemudian setelah disalurkan sedemikian rupa berubah menjadi angin sepoi-sepoi.
Begitu pula dengan ambisi untuk meraih keberhasilan, kemenangan, dan kekuasaan, Allah tidak memerintahkan kepada seorang hamba untuk memutuskan diri dari ambisi ini, tetapi memerintahkan kepadanya agar menyalurkan ambisinya itu sebagai potensi untuk mengalahkan kebathilan dan para pendukungnya. Dia memerintahkan kepadanya untuk tujuan itu agar melakukan berbagai macam aktivitas penempaan diri melalui perlombaan dan sebagainya agar menjadi terlatih dan beroleh kelayakan untuk meraih kemenangan. Begitu pula halnya dengan ambisi kesombongan, kebanggaan, dan keangkuhan yang memang diperbolehkan, bahkan dianjurkan bila digunakan untuk memerangi musuh-musuh Allah. Sesungguhnya Nabi saw. sendiri melihat Abu Dujanah alias Simak bin Kharasyah al-Anshari berjalan dengan langkah yang angkuh diantara kedua barisan (pasukan kaum muslim dan pasukan musuh), lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya langkah ini benar-benar merupakan cara berjalan yang dimurkai Allah, kecuali di tempat yang semisal ini.”
Rasulullah saw. telah bersabda pula:
Sesungguhnya diantara sikap sombong itu ada yang disukai oleh Allah dan ada pula yang dibenci oleh-Nya. Adapun kesombongan yang disukai oleh Allah ialah langkah yang angkuh dari seseorang dalam kancah peperangan dan sikapnya yang sombong saat bershadaqah.”
hingga akhir hadits. (Dalam Musnad Imam Ahmad 5/445,446 telah disebutkan melalui Jabir bin ‘Atik r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Sesungguhnya diantara kecemburuan itu ada yang disukai oleh Allah dan ada pula yang dibenci oleh-Nya; begitu pula halnya dengan keangkuhan, ada yang disukai oleh Allah dan ada pula yang dibenci oleh-Nya. Kecemburuan yang disukai oleh Allah ialah cemburu terhadap hal-hal yang mengandung kecurigaan [yg berdasar], dan kecemburuan yang dimurkai oleh Allah ialah cemburu terhadap hal-hal yang tidak mengandung kecurigaan. Keangkuhan yang disukai oleh Allah ialah sikap angkuh seseorang di medan peperangan dan juga sikap angkuhnya saat bershadaqah; dan keangkuhan yang dibenci oleh Allah ialah sikap angkuh seseorang saat membangga-banggakan dirinya dan sikapnya yang melampaui batas.”)
Tidaklah sekali-kali Allah mengharamkan sesuatu atas hamba-hamba-Nya, melainkan Dia memberi ganti buat mereka dengan hal lain yang lebih baik daripadanya. Sebagai contohnya:
Allah telah mengharamkan kepada manusia mengundi nasib dengan anak panah (dadu), maka Allah SWT menggantikannya untuk mereka dengan do’a istikharah.
Allah telah mengharamkan riba kepada mereka, maka Dia menggantikannya bagi mereka dengan perdagangan yang menguntungkan.
Allah telah mengharamkan kepada mereka berjudi, maka Dia menggantikannya untuk mereka dengan mendapatkan harta dr hasil perlombaan balap kuda, unta, dan memanah yang berguna bagi kepentingan agama (jihad).
Allah telah mengharamkan kepada mereka kain sutera, maka Dia menggantikannya bagi mereka dengan berbagai macam pakaian yang mewah, baik yang terbuat dari wol, katun, maupun bahan lainnya.
Allah telah mengharamkan kepada mereka zina dan sodomi, maka Dia menggantikan keduanya bagi mereka dengan pernikahan dan poligami dengan wanita-wanita yang cantik-cantik.
Allah telah mengharamkan kepada mereka minum khamr, maka Dia menggantikannya untuk mereka dengan berbagai macam minuman yang enak lagi berguna bagi kesehatan rohani dan jasmani.
Allah telah mengharamkan kepada mereka mendengar suara musik dan lagu-lagu, maka Dia memberikan gantinya bagi mereka dengan mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang.
Allah pun telah mengharamkan kepada mereka beberapa jenis makanan yang buruk-buruk, maka Dia menggantikannya bagi mereka dengan berbagai macam makanan yang baik-baik.
Barang siapa yang memperhatikan hal ini dan merenungkannya, akan menjadi mudahlah baginya untuk meninggalkan keinginan hawa nafsunya yang membinasakan, lalu menggantinya dengan hal yang bermanfaat lagi sangat berguna bagi dirinya. Dia akan mengetahui hikmah kebijaksanaan Allah, rahmat, dan kesempurnaan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya dalam semua hal yang diperintahkan-Nya kepada mereka, semua hal yang dilarang-Nya bagi mereka, dan semua hal yang diperbolehkan-Nya bagi mereka, bahwa tidaklah sekali-kali Allah memerintahkan sesuatu yang telah Dia perintahkan kepada mereka semata-mata sebagai kebaikan dan rahmat dari-Nya; dan tidaklah sekali-kali Dia melarang sesuatu yang telah Dia larang terhadap mereka, melainkan semata-mata untuk melindungi dan mengayomi mereka dari hal-hal yang membahayakan diri mereka.
Berangkat dari alasan tersebut, saya tulis buku ini sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara dorongan hawa nafsu dan potensi akal, karena apabila keseimbangan antara hawa nafsu dan akal telah terealisasi, akan menjadi mudahlah bagi seorang hamba untuk memerangi hawa nafsu dan godaan setan. Hanya kepada Allah jualah diminta pertolongan dan hanya kepada-Nyalah saya berserah diri. Oleh karena itu, apa pun kebenaran yang terkandung di dalamnya, hal itu berasal dari Allah, karena Dialah yang telah memberi taufiq & pertolongan kepadanya; dan kekeliruan apa pun yang ada di dalamnya, maka sesungguhnya hal itu berasal dariku dan dari setan, sedang Allah dan Rasul-Nya bersih dari hal tersebut. Sesungguhnya saya telah menjadikan kandungan buku ini dalam 29 bab dan saya memberinya judul dengan sebutan Raudhatul Muhibbiin wa Nuzhatul Musytaaqiin (Taman orang-orang jatuh cinta dan rekreasi orang-orang dimabuk rindu.) Ke-29 bab tersebut adalah:

1. Nama-nama cinta
2. Akar kata nama-nama cinta dan maknanya
3. Hubungan antar nama-nama cinta
4. Alam atas dan alam bawah diciptakan karena cinta dan untuk cinta
5. Motivasi cinta dan ketergantungannya
6. Hukum pandangan mata dan bahayanya
7. Perdebatan antara hati dan mata
8. Pandangan mata dan peluk cium, golongan yang membolehkannya
9. Sanggahan terhadap golongan yang membolehkan pandangan mata dan peluk cium
10. Hakikat rindu dan spesifikasinya
11. Rindu: Taqdir atau ada campur tangan manusia
12. Mabuk rindu
13. Kesempurnaan kenikmatan tergantung pada kesempurnaan cinta
14. Pengagum dan pendamba cinta
15. Pencela cinta
16. Mendudukkan permasalahan cinta
17. Merealisasikan cinta
18. Obat mujarab bagi orang yang jatuh cinta
19. Keutamaan kecantikan dan kecenderungan hati padanya
20. Pertanda cinta dan buktinya
21. Cinta menuntut sikap monogami dan tidak berhati mendua
22. Orang yang jatuh cinta punya rasa cemburu
23. Cinta yang tulus
24. Akibat melanggar dua jalan yang diharamkan
25. Rahmat dan syafa’at bagi orang yang jatuh cinta
26. Meninggalkan yang kurang dicintai demi memilih yang lebih dicintai
27. Orang yang meninggalkan kesukaannya yang diharamkan akan dianugerahi yang halal atau Allah akan memberinya ganti yang lebih baik
28. Lebih memilih hukuman dan penderitaan di dunia daripada kenikmatan hubungan yang diharamkan
29. Menentang hawa nafsu demi meraih cita-cita
Diharapkan kepada setiap orang yang hendak menelaah kandungan buku ini agar sudi memaafkan penulisnya, mengingat dia menyusunnya saat berada jauh dari kampung halaman tanpa membawa referensinya. Karenanya, sudah barang tentu apa yang ia tuangkan dalam buku ini hanya mengandalkan pengetahuan yang tersimpan dalam memori ingatannya, kemudian ia himpunkan dengan susah-payah, lalu menyajikannya menurut ala kadarnya. Hal ini membuat keadaannya benar-benar tak ubahnya seperti apa yang dikatakan oleh pepatah, bahwa “kaudengar suara Mu’aidi yang merdu lebih baik daripada kaulihat rupanya buruk.” Keadaan ini juga yang membuatnya seperti orang memposisikan dirinya bagaikan sasaran yang empuk untuk anak-anak panah dan tombak-tombak kritikan yang siap menghunjamnya.
Oleh karena itu, pihak yang diuntungkan adalah para pembacanya, sedang yang menderita kerugian adalah penulisnya. Inilah hasil jerih-payah yang ala kadarnya, ditawarkan kepada Anda dan disajikan sebagai cindera mata buat Anda. Jika Anda menjumpai di dalamnya kecocokan yang sangat serasi, tiada halangan bagi Anda untuk memeliharanya dengan baik atau melepaskannya dengan cara yang baik pula. Jika anda menjumpai di dalamnya hal yang sebaliknya, maka hanya kepada Allahlah diminta pertolongan dan hanya kepada-Nyalah berserah diri. Akan tetapi, penulisnya cukup merasa puas dengan imbalan do’a yang tulus dari pembacanya, jika hasil karyanya ini dapat diterima dan disambut dengan baik olehnya; atau ditolak dengan cara yang baik jika memang kurang sesuai dan tidak berkenan di dalam hatinya.
Orang yang berpandangan objektif akan menanggapi kekeliruan orang lain dengan reaksi meluruskannya dan menyambut keburukannya dengan balasan kebaikan. Memang demikianlah tuntunan yang dianjurkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya dalam memberikan balasan yang terbaik, mengingat tiada seorang pun yang semua ucapannya lurus dan seluruh perbuatannya benar. Tiada lain orang yang dapat berbuat demikian, kecuali hanyalah seorang yang [oleh Allah] dima’shum (dihindarkan dari kesalahan).
Dialah orang yang berbicara bukan atas kemauannya sendiri, karena ucapannya adalah wahyu yang diturunkan kepadanya. Oleh karena itu, Hadits apa pun yang g shahih darinya merupakan dalil naqli yang dibenarkan bersumberkan dari pengucapnya yang dima’shum, sedangkan yang bukan berasal darinya, maka kedua kriteria tersebut tidak terkandung di dalamnya, meskipun penukilannya memang shahih, sudah pasti pengucapnya bukan seorang yang dima’shum, dan jika tidak shahih, berarti sudah jelas tidak dapat diyakini berasal darinya.

Posting Komentar

0 Komentar